TILUNG LEMBAYUNG


 

TILUNG LEMBAYUNG

Di atas dipan yang begitu memperihatinkan mamak berbaring lemah, wajah yang begitu indah dan selalu berseri-seri kini luntur entah kemana. Tubuh yang tak lagi berdaya, kaki yang dulu begitu kokoh untuk menyangga kehidupan kami berdua, kini tak lagi bergerak. Mamak, hatiku sedih tetapi bibir ini harus tetap tersenyum untukmu, karena kau tak pernah mengajarkan arti susah dalam hidup. Kau selalu bersyukur apapun keadaanya. Mamak, hidup itu berat tetapi kau selalu bisa mengubahnya menjadi seringan kapas.

Aku, Tilung Lembayung, anak perempuan satu-satunya dari bapak Kholidi dan mamak Marni. Bapak sudah tiada sejak aku masih dalam kandungan. Sedangkan mamak berjuang sendiri untuk menghidupi kami. Pernah terbesit di pikiran mamak untuk menikah lagi, namun pada akhirnya mamak memilih untuk hidup berdua denganku.

Tilung, duduk disini anak, mamak mau bercerita”.

Iya mak”, jawabku yang sedang di pintu kamar.

Mamak mau minum dulu atau makan?”, tanyaku saat menghampiri mamak.

Tidak Tilung, mamak mau kau di sini untuk mendengarkan mamak bercerita”, kata mamak mengukir senyumnya. Senyum indah itu tak pernah luntur dari wajah mamak walau pucat yang ku lihat.

“Dulu mamak waktu seusia kau (usiaku saat ini 15 tahun), mamak sering sekali menjadi primadona anak-anak”, tawa lemahnya memenuhi ruangan. Aku tahu maksud primadona yang mamak bicarakan, aku hanya tersenyum.

Seru sekali waktu itu anak, mamak bisa belajar banyak. Dari menjadi primadona anak-anak, mamak lebih banyak tahu tentang makna hidup. Tilung, apapun yang akan terjadi setelah ini, kau harus ikhlas ya anak, walau mamak tahu ikhlas itu tidaklah mudah. Uhuk….uhuk…, batuk memutus petuahnya sekejap.

Mamak melanjutkan walau terengah, Tilung, yang memiliki perasaaan di muka bumi ini bukan hanya kau anak. Mulutmu juga berpengaruh sedikit lebih banyaknya terhadap orang lain. Cukup bicara yang baik, disakiti tentu itu tidak nyaman anak, tapi ingat! Itu lebih mulia dari pada menyakiti”

“Iya mak, Tilung akan mengingat ucapan mamak”, hatiku sakit dan sesak di dada sangat menyiksaku. Siapa yang kuat melihat wanita tercintamu lemah tak berdaya? Hanya soal waktu kata-kata mutiara itu tak akan terucap lagi. Satu-satunya orang yang ku miliki adalah mamak, apakah Tilung bisa hidup tanpa mamak?

Mak, Tilung boleh nangis?” tanyaku dengan nada lirih tak kuasa melihat tubuh lemah tak berdaya mamak.

Boleh Tilung, sangat boleh. Tidak ada yang melarang siapapun untuk menangis termasuk diri kau. Tilung, ketika kau menangis kau itu sudah melepaskan sebagian besar bebanmu, itu sudah cukup membantu anak, menangislah hingga kau bisa mensyukuri tangisanmu”, kata mamak mengelus puncak kepalaku di pelukannya.

Aku menangis hingga dadaku semakin sesak, tangisku kepada mamak ialah tangis yang tak sanggup bila mamak tak lagi bersamaku.

Nak, akan ada masa di mana kau tidak menemukan kebahagiaan kecuali mengasingkan diri dari keramaian. Cukup kau nyaman dengan dirimu sendiri. Tugas kita di bumi ini hanya memberi apa yang kita punya, bukan mengharapkan timbal balik dari apa yang kita lakukan”.

Mamak menghela napas susah payah. Saat aku masih menangis di pelukannya, tiba-tiba jari tanganku diraih olehnya. Di genggamnya dengan begitu erat. Mamak tersenyum dan melafalkan syahadat dari bibirnya dengan tersenggal-sengal. Kemudian tidak sampai sepuluh menit mamak telah tiada.

“Mamakkk……” jeritku tertahan oleh tangis. Sudah begitu sesak hatiku, sakit sekali yang kurasa. Hidupku tidak seperti kebanyakan teman sebayaku, yang bersekolah dari SD hingga SMP, bermain dan bergaul dengan banyak orang, itu bukan hidupku. Aku hidup untuk membantu mamak menghidupi kebutuhan kami berdua. Rumah seadannya dan jauh dari kata layak, tapi masih memungkinkan untuk tempat berteduh, walau di kala hujan harus siap dengan ember-ember atau kaleng yang ada di rumah. Aku tidak sekolah, tetapi mamak adalah guru terhebat dalam hidupku, mamak mengajarkan segala hal padaku.

Mamak, aku teringat akan mimpimu yang begitu kau bangga-banggakan. Itu hanya mimpi, benar, tapi kau sangat bangga hingga meneteskan air matamu. Mimpi muliamu adalah melihat anak perempuan satu-satumu ini menjadi seorang guru yang mencerdaskan anak-anak tak mampu. Kau adalah pejuang wanita yang layak dihormati banyak orang, dan aku sangat bangga terhadapmu.

Impian mulia mamak, tapi mamak tidak pernah memaksa dan aku akan berjuang untuk mewujudkannya. Walau aku tak bersekolah, tetapi mamak mengajarkanku menulis dan membaca. Itu sudah cukup sebagai bahan dasar untukku berjuang menjadi seorang guru. Aku harus bisa dan terus berusaha semaksimal mungkin agar mampu mewujudkan mimpi wanita terhebat dalam hidupku.

Aku, Tilung Lembayung, siap berjuang untuk meraih perubahan” ucapku dalam hati.

Aku menatap mamak yang sudah memucat. Aku memberitahukan ke tetangga bahwa mamak sudah tiada, dan para tetangga segera berkumpul untuk memandikan mamak dan segera mengkebumikannya.

Selamat tinggal mamak, doakan anakmu ini bisa mewujudkan impianmu.

By (sruwit)


Komentar