Bumi menangis, tanpa sepengetahuan manusianya bumi merintih, tanpa sepengetahuan satelitnya bumi sendirian, hanya Tuhan yang tetap mendengar diam-diam. Tangisnya, rintihnya, terbungkus rapi terpendam sepi. Isaknya yang tak tampak netra menjadi peluang bagi manusia untuk terus memerasnya. Namun, apakah ia pernah membenci manusia? Berjuta rasa sakit tak ingin didermakan olehnya, demi manusia agar masih bisa menikmatinya. Adakah manusia yang mengetahui ini? Adakah? Entahlah.
Pohon-pohon yang setia menggenggamnya telah terbabat habis, terhampas ego dan ambisi. Mereka tak pernah mau, mereka enggan, mereka tidak mengembalikan apa yang mereka ambil secara paksa. Dan apabila bencana hadir menyapa, bumilah yang mereka anggap salah, bumilah yang mereka beri fitnah. Dan apa yang bisa dilakukan bumi? Tidak ada! Hanya berdiam diri memangku gelisah. Berdiam diri bersimbah resah. Tak bisakah mereka berbungkam tiada bicara? Apalagi bukan sekali dua kali ini semua terjadi. Ratusan kali. Ribuan ratus kali. Jutaan kali. Jutaan ratus kali. Atau mungkin angka tak mampu memberi deskripsi? Entahlah.
Menjulangnya gedung-gedung kaca membuat lapisan ozon terkikis olehnya. Sempatlah bumi terhausi. Hujan mulai jarang menengok bumi. Tak mudah bagi bumi untuk bersemi. Bongkah demi bongkah tebing es, perlahan- lahan pecah terbelah berdarah-darah. Menerbangkan iklim yang tak menentu. Memakan penghuni-penghuni alam yang asyik berisi. Dan ketika penghuni itu penuh, lagi- lagi bumilah yang diberi salah. Pemanasan global semakin meriuh berakibat fatal. Hujan dan terik kian berseteru. Berebut tempat terburu-buru. Bentang tanah yang terendus panas, mulai mengerang retakan membekas. Lautan samudera ditamui gejolak ombak tanpa frekuensi, yang pada akhirnya melahirkan tsunami. Di sini, di sana, di mana-mana.
Sungai-sungai yang semula sebening kasih. Teralir bersama sampah yang sangat jauh dari kata bersih. Membaui sekitar, mencemari indra penciuman. Dari hulu hingga hilir. Dari kubu hingga titik terakhir Ia menggendong dengan berat hati menuju laut yang juga sama sekali tak menanti. Berenang, menyelamkan mereka perlahan. Mencuri perhatian para spesies kelaparan. Dan kau tahu? Spesies kelaparan itu adalah kiriman dari manusia. Yang mengambil tumbuhan laut, ilegal. Maka termakanlah sampah-sampah itu, mendiami perut, tak tahu jika membawa bahaya akut. Dan akhirnya, spesies itu terdampar di perbatasan air dan daratan. Disertai dengan nyawanya yang terbang. Di sini, di sana, dan di mana-mana.
Bumi menangis, lagi. Terpaku ia merenungkan ketidakadilan. Bukan! Bukan berarti ia menyalahkan Tuhan. Kepada manusialah ia berusaha tidak menanamkan dendam. Belum sempat ia selesai menangis. Ia malah mendengar suara tangis seorang bayi. Seorang bayi yang sama sekali belum menyeduh dosa. Sungguh malang, bayi itu dibuang. Ia lahir sebelum waktunya ia keluar. Lebih parahnya, ia lahir, tanpa lilitan tali pernikahan. Ia menjadi bukti sebuah hubungan tanpa restu dari waktu. Semakin meriuh tangis bayi itu. Kini tenaganya tercipta oleh lelah. Hingga akhirnya, nyawa bayi berusia tujuh jam pun berpamit, beranjak mendadak. Desir degupnya tak lagi berdetak. Aliran darah yang semula deras, kini berhenti seakan terkupas tuntas. Belum sempat bayi itu merengkuh dunia, ia sudah harus terlelap selamanya. Dan itu semua, adalah ulah orang tuanya, manusia.
Semakin terisaklah bumi, teringat ia sudah merevolusikan diri pada matahari hampir satu putaran penuh. Sebentar lagi, manusianya kan berpesta ria, mengabaikan sendunya. Ia takut, dirinya yang menua malah tidak tahan dengan sikap mereka. Ia takut, bulan tak lagi mempercayainya, karena selama ini bumi tidak membagikan laranya. Yang paling ia takuti adalah jikalau Tuhan bertindak atas jerit kalbunya. Ia takut, Tuhan mengirim balas kepada manusia. Ia takut, ia tak mau manusianya terluka, meski mereka berulang kali melukainya.
Begitulah kiranya cerita kakek, di saat tahun baru hampir menyapa. Beliau memberi nasihat, supaya aku tidak melukai bumi. Setiap hari Ahad, kakek mengajakku berkeliling dengan sepeda tuanya. “Biar tidak mencemari udara’’, begitu kata kakek. Lalu kakek memungut botol-botol bekas. Dan menggunakannya sebagai pot ketika sampai rumah. Atau paling tidak dijadikan hiasan atau kerajinan. Kakek juga sering mengajakku duduk di samping beringin, menembang macapat.
“Kakek, sebentar lagi tahun baru, kakek mau kasih bumi apa?’’, tanyaku. Biasanya kakek memang memberi kado spesial di tahun baru. “Kan kakekmu ini sahabatan sama bumi’’. Selalu saja itu yang dikatakan kakek, setiap kali aku menanyakan mengapa beliau selalu memberi kado pada bumi.
“Nanti yang ngasih kadonya kamu saja ya Ai’’, jawab kakek sore itu, berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.
“Lho, kenapa Ainun yang ngasih? Biasanya kan bareng sama kakek. Kakek sahabatnya bumi kan?’’, tanyaku kebingungan.
“Iya Ai, mungkin tahun ini kakek nggak bakalan sempet ngasih kado ke bumi. Tapi, kakek bakalan tambah deket lagi sama bumi’’, kakek mengakhiri kalimatnya dengan senyum termanis di wajahnya yang sudah mengeriput. Aku mengangguk sok tahu, masih tidak mengerti.
Sang surya berpamit pergi mengundurkan diri. Giliran ksatria malam mengambil posisi untuk mengganti. Di rumah Ainun, berkibaran bendera kuning. Isak tangis menggema di setiap penjuru ruangan. Semakin terasa kesepi-sunyiannya malam. Ainun yang masih anak kecil, tersedu-sedu menyaksikan. Tubuh kakeknya yang terbujur kaku, membeku. Lidah kakeknya yang tak akan menembangkan macapat lagi. Tak ada lagi bermain dan naik sepeda di Ahad sore. Ia sudah terbiasa bersama dengan kakek, dan kini ia terpaksa merelakan tanpa kehadirannya.
“Kakek, bangun kek’’. Ainun mengombang-ambingkan jenazah mendiang kakeknya. Tangisnya kian memperkeruh keadaan. Ia membangkang takdir yang meminta kakek tersayangnya. Jenazah telah selesai disholati. Lalu diiring menuju pemakaman. Namun Ainun tidak menginginkan ikut mengiring kakeknya.
“Kakek kenapa pergi. Ayo kita kasih kado spesial itu ke bumi’’. Air matanya terlinang begitu saja. Teringat pesan kakek pada Ainun. Kado untuk bumi ada di dalam lemari. Berlarilah Ainun menuju tempat lokasi.
Bumi teramat berbelasungkawa. Manusia yang berusaha menyayanginya, berusaha menjadi sahabatnya. Kini telah duduk di pangkuan sang pencipta. Tak ada lagi tembang-tembang di sore hari. Tak ada tanam-menanam setiap Ahad. Tak ada kado spesial di tahun baru. Hingga suatu ketika, seorang anak datang menghampirinya, mencoba untuk menguatkan dirinya. Di tengah maraknya tahun baru beserta segala sendu.
“Bumi, ini kado dari kakek. Kakek nggak bisa ngasih langsung. Maaf ya’’. Kata anak itu menahan tangis. Sambil menanam beringin yang sangat jauh sekali dari kata besar.
“Selamat tahun baru bumiku. Sehat terus ya. Tolong jagain kakek, dia sudah nganggep kamu sahabatnya”, kian bergetar bahu anak itu. Lalu ia meniduri tanah. Tak acuh dengan kotor yang bersimbah. Betapa riang mendengar dan melihat ketulusan anak ini, ia malah semakin menyayangi manusianya. Ia tak mau mereka terluka. Meski berulang kali mereka melukainya.
Di setiap tahun baru, aku selalu kemari. Mendatangi beringin yang tujuh tahun lalu kutanam selepas kepergian kakekku. Pohon itu beranjak dewasa. Meski tak sebesar pohon beringin di sampingnya. Pohon yang besar itu berusia 81 tahun. Pohon yang kakek tanam di tahun baru, saat ia kehilangan kakeknya. Sama sepertiku, kakek tak pernah menceritakan itu. Padahal setiap sore, ia manggaungkan tembang-tembang jawa di dekatnya. Mengajak aku tentunya. Aku tak pernah mengerti arti tembang-tembang jawa itu dahulu.
“Selamat tahun baru bumiku’’ ucapku, sembari membaringkan tubuhku ketanah. Seperti dahulu. Teringatlah aku pada petuah kakek, agar terus menjaga bumi. Karena bumi tak pernah membenci manusia. Justru, ia tak mau mereka terluka, meski berulang kali mereka melukainya.
“Sekali lagi, selamat tahun baru bumiku’’.
(By; Patherty)
Komentar
Posting Komentar