NO MONEY IS A PROBLEM SH*T


NO MONEY IS A PROBLEM SH*T

Keterbatasan uang membuatku memutar otak untuk bisa mendapatkan apa yang ku”inginkan” mulai dari menabung, memohon, mencuri, menyelundup, mengutil, menabung, dan merayu.

Kebiasaan buruk itu terus terjadi sampai pada suatu hari, saat aku sedang mencuri bedak bayi di minimarket terdekat, seorang pria tinggi besar bertato mendekatiku. Mengaku sebagai seorang bandar barang haram. Menawari pekerjaan serabutan mengerikan dengan upah yang tak kalah membuat bulu kuduk berdiri. Mengingat risiko dan dosa yang tak sebanding, aku menolak halus tawaran emas seharga 5 juta hanya untuk mengantar sebungkus kecil sabu-sabu. Pria tinggi tadi mengganguk mengerti, kemudian pergi.

Setelah menolak tawaran itu, aku melihat seekor musang albino di semak-semak. Berpikir, jika musang itu kujual pasti laku mahal, maka kuputuskan untuk mengejar musang itu. Musang tersebut berlari menuju hutan. Aku mengejar dan terus mengejar masuk kedalam hutan. Sampai-sampai tak kurasa sudah masuk teralu jauh ke dalam hutan. Musang itu berhenti di depan lemari kayu jati yang tertutup rapat.

Tunggu-tunggu, di tengah hutanAda lemari? What? Tiba-tiba musang itu berbicara. Aku tersendat, nafasku tercekat, aku mulai ketakutan. Musang bicara. Apa itu semacam jinHalo anak gadis, aku tahu kau butuh sesuatu tak terduga. Dalam lemari ini ada cacing gempa. Kau harus cari kucingnya”. Aku gelagapanSiapa kau?.

Daijin, aku Daijin”, jawab musang itu.

Lantas?”, tanyaku kebingungan.

Ya! Kau adalah orang terpilih yang bisa melihat Daijin, jadi kau harus mencari Saichin”

Saichin apa lagi?, tanyaku muak dengan keabsurdan ini.

Aku mulai mencak-mencak, di abad 21 ini memangnya ada yang namanya cacing gempa. Niat awal untuk menjual musang ini perlahan memudar. Tawaran “sesuatu tak terduga” itu membuatku langsung tertuju pada uang segepok, pasti seru sekali.

“Jadi begini manis, di lemari ini ada cacing gempa, dia akan mengamuk keluar dalam waktu 3 hari dan kau harus mencari kunci lemari ini yang ada pada Saichin. Kau harus segera menemukan sebelum cacing ini marah dan terjadi gempa dahsyat yang akan memakan korban jiwa”, kata musang itu menjelaskan.

Sejujurnya aku kurang megerti dengan apa yang dia katakan, tapi ya sudahlah terserah, aku langsung mengiyakan. Namun pertama-tama aku bertanya bagaimana ciri-ciri Saichin atau apalah itu tadi.

Dia kucing hitam dengan lingkar putih di mata kirinya, ekornya 2 dan dia bersuara seperti ayam”, aku menahan tawa, memangnya ada makhluk seperti itu? Aku mengganguk lalu pergi. Hal pertama yang kulakukan adalah bertanya ke orang-orang di jalanan. Sebenarnya aku sudah menduga respon mereka yang akan mengataiku gila, tapi tetap saja aku tanyakan setelah dikatai gila, aku memutuskan untuk berjalan pulang.

Di jalan aku bertemu dengan seorang lelaki berambut gondrong bergelombang, kurus pendek dan tampak memakai baju kedodoran yang tak terawat, bercelana panjang kebesaran, memakai kacamata super bulat. Anehkupikir dia laki-laki agak gila atau semacam filsuf. Tanpa kontak mata ia memanggilku, aku menoleh sambil menunjuk diriku sendiri, kemudian dia berkata, “Aku tahu apa yang kau cari, coba pergi ke arah barat dan tanyakan pada satu-satunya orang tua yang tinggal di gubuk peyok”. Kugaruk kepalaku yang tak gatal, lelaki tadi lanjut pergi tanpa meninggalkan sepatah katapun lagi, tentu saja masih tanpa kontak mata. Hari sudah petang, tidak sopan bertamu pada jam segini, aku memutuskan untuk lanjut pulang dan pergi keesokan harinya.

Baru mau mengetuk pintu, aku sudah disuguhi cacian, makian, dan kata-kata tidak pantas lainya seperti cucuguk bau dan alat kelamin lelaki. Siapa yang dimarahi, seperti nahkoda memarahi kelasi di geladak kapal itu? Bukan aku kan? Aku baru saja datang. Tangan yang mengetuk ini terhenti. Aku berpikir dua kali untuk bertanya, namun ada suara lagi dari dalam dan kali ini lebih lembut dari sebelumnya, walaupun tetap suara teriakan.

            Aku tahu apa yang kau cari, pergi datangi pengrajin kayu dan tanyakan padanya. Sudah jangan ganggu aku lagi! Aku tidak bisa mengutuk anak perempuan jadi cepat-cepatlah pergi”.

Untuk kedua kalinya aku terkejut, lalu cepat-cepat pergi, tak mau diteriaki lagi. Sesampainya di tempat pengrajian kayu, bukannya menjawab pertanyaanku dia malah bercerita tentang putranya yang terkena sakit skizofernia. Aku tidak tahu dia memang bercerita panjang lebar, kurang lebihnya begini ceritanya

“Anakku bukan pembohong, dia selalu bercerita padaku kalau sangat sulit menyakinkan orang-orang bahwa sejak pertama kali, dia mengingat ada pria cebol berjenggot yang membawa tongkat bambu dan selalu mengikutinya kemanapun, aku tahu dia tidak pembohong.

“Aku juga tahu anakku mempunyai masalah kejiwaan sejak kecil, namun keterbatasan uang membuat kami sulit membawanya ke tempat pelayanan jiwa. No money is a problem shit, tidak ada uang adalah masalah yang menyebalkan.

Setiap dia bercerita, bahwa apa yang dia katakan selalu diejek kebohongan kedua setelah siluman ular naga indosiar, membuatku terenyuh.

“Aku tahu keberadaan Saichin, aku juga butuh sesuatu tak terduga dari Daijin. Sayang sekali aku bukan orang terpilih yang harus mencari kemudian mendapatkan sesuatu itu.

“Maafkan aku anak muda karena membuatmu harus mendengarkan keluh kesah keuanganku, sekarang coba kau cari ke sungai seberang gunung mungkin Saichin masih ada di sana”.

Aku agak bingung kenapa ia bilang mungkin masih di sana, tapi sudahlah aku sangat ingin mendapatkan uang segepok jadi sekonyong-konyong setelah mengucapkan terimakasih aku menghambur pergi ke seberang gunung.

Sepanjang perjalanan aku bersenandung ria, sesekali berbicara sendiri sekaligus mengasah kemampuan public speaking-ku. Selama perjalanan pula aku melatih kemampuanku di semak belukar dan serangga-serangga, bahwasanya aku adalah anak perempuan yang tidak pernah memakai high heels yang dapat merusak susunan tulang ataupun jeans ketat yang saat dipakai bagaikan menjejalkan bangkai tikus got 10 kg dalam kantong yang hanya mampu memuat 5 kg daging segar. Di samping aku tidak punya cukup uang untuk semua itu, aku juga kurang menyukainya, serta aku tidak pernah mendiskriminasi orang berkulit hitam dan tidak menerapkan pandagan kolot beauty privilage pada orang berkulit putih.

            Di tengah-tengah pidatoku, tiba-tiba ada suara gemerisik dan gemeletuk gigi taring di balik pohon besar. Oh Tuhan apa itu, apakah semacam macan atau… BAA!!!!

            Seekor kucing besar berjalan anggun dari balik pohon, dia berdiri dengan kedua kakinya, tingginya semampai sama sepertiku, memakai baju seperti noni-noni belanda lengkap dengan payungnya, kerlingnya tajam, bulunya seperti hijau lumut. Aku yakin dia pasti bisa berbicara, ternyata dugaanku salah. Dia mengeong kemudian menunjuk ke arah barat, aku gelagapan kemudian langsung berlari. Naudzubillah min dzalik gusti… banyak sekali jin di sini.

            Sesampainya aku di sungai, benar saja di sana ada kucing berbuntut 2 sedang mengapung-ngapung di air, berenang, meyelam, melakukan lompatan indah dan sesekali melakukan gaya katak. Kudekati Saichin dan berusaha melakukan sapaan hangat, bukannya menyapa balik dia justru melirikku julid kemudian kembali melakukan lompatan indah.

“H-h-h-hai namaku maksudku cacing gempakucing, Daijin, ano” ucapku gagap.

            Mendengar nama Daijin kusebut, tiba-tiba air mukanya berubah menjadi galak, dia menatapku tajam lalu menyemburkan air kewajahku, aku terjerembab kaget.

            Hey! Tidak sopan kau kucing bodoh!!”, teriakku.

            Dia tertawa yang terdengar seperti suara cicitan ayam, lantas menyelam kemudian menghilang dari pandangan aku ikut menyelam ke dalam sungai, tapi justru yang ada kepalaku terantuk batu sungai.

            “Aah?” jeritku

Rupanya sungai ini hanya sedalam dadaku saja. Kucari-cari Saichin, tapi nihil.

            Matahari telah menyingsir, waktunya pulang dengan tangan kosong. Dengan raut wajah berlipat kuseret kedua kakiku pulang ke rumah. Begitu banyak hal yang kulalui hari ini, banyak sekali, aku lelah. Take me home where i’m belong. I can’t take it anymore. Hatiku merutuk.

            Matahari sudah terbit berjam-jam dengan rasa jengkel yang bangun dari awan keraguan. Sepekat awan cumulonimbus yang menggantung di atas kepala, aku berlari ke tengah hutan di mana lemari kayu jati itu berada.

            Kudapati pintu lemari itu terbuka dengan sebuah cacing tanah yang sudah mencelat entah kemana serta secarik kertas, tidak terjadi apa-apa. Kuambil secarik kertas itu lalu membacanya keras-keras, masa bodoh ini di tengah hutan.

Halo manis, anak gadis yang butuh uang! Kulit manggis sudah lama ada ekstraknya, begitu pula tuhanmu tidak pernah tidur, rezeki sudah ada yang  mengatur. Bedakan mana yang kau inginkan dan yang kau butuhkan. Bedakan juga mana yang nyata dan tidak. Kau gampang diculik kelihatannya, jangan mencuri! Itu tidak baik. Semua itu butuh usaha dan proses. Tuhan memberkatimu sayang. Apel itu sangat enak, kau tidak menduganya kan? Terimakasih sudah membujuk Saichin pulang. Salam sayang sekebon untukmu, Good luck!”

            Kuhirup oksigen sebanyak mungkin, paru-paruku bisa menampung. Aku lap setitik bulir hangat di ujung pelupuk mata, sialan. Aku kena tipu lelembut, kurampas kasar apel itu lalu pergi.

            Sore harinya di antara matahari terbenam dan awan-awan. Kulihat siluet Daijin dan Saichin melambai kepadaku. Oh Tuhan, Nampaknya  aku memang benar-benar butuh uang dan pelayanan kesehatan jiwa. Psikisku masih terguncang.

            Dari kejauhan, Nona Kucing Besar (N besar K dan B besar), menatap tajam apel yang kupegang sambil memainkan surainya, tunggu! Nona Kucing Besar?

 By : ( Hala )

Komentar